Kebaikan Hati

Kebaikan hati seolah telah menjadi sesuatu
yang terlalu mewah untuk kita miliki dan temui saat
ini. Memilikinya ibarat menyimpan bara dalam
genggaman. Kebaikan hati akan membuat kita tidak
'competitive' dalam dunia yang keras ini. Hati yang
lembut dan lebih 'manusiawi' hanya akan menghambat
kita dalam meraih sukses. Sebaliknya, hati yang
'tegaan' dan lebih 'rasional' dianggap akan lebih
melapangkan jalan keberhasilan.

Menemui kebaikan kini juga seolah semakin sulit. Kita
semakin suka berprasangka atas kebaikan yang kita
lihat. Tidak ada kebaikan yang tulus, semua pasti ada
'sesuatu' di baliknya. Tidak ada makan siang yang
gratis. Bahkan kebaikan hati kini sering dituding
sebagai penyebab keterpurukan dan nasib sial. Ketika
seorang teman ngemplang tidak membayar hutang,
orang-orang mempersalahkan saya. Saya dianggap
'terlalu baik' dan tidak berhati-hati sehingga mudah
tertipu tampilan luar seseorang. Dan tidak ada
seorangpun yang mempersalahkan teman yang ngemplang
tersebut!

Berbagai kejahatan dari kelas teri hingga kelas kakap
yang kita saksikan sehari-hari di media cetak dan
televisi, semakin membekukan hati kita. Selalu waspada
dan jangan pernah lengah. Berbaik hati hanya akan
menurunkan kewaspadaan dan membuat kita tertipu dan
celaka. Saya pun larut dalam arus besar itu.

Sampai suatu ketika di akhir November lalu saya
menonton sebuah acara reality show di salah satu
stasiun televisi swasta. Di acara tersebut seorang
aktor akan berlakon sebagai orang yang membutuhkan
pertolongan. Lalu ia akan meminta tolong pada semua
orang yang ditemuinya secara acak. Orang yang memberi
pertolongan akan mendapatkan hadiah. Semua kejadian di
rekam oleh kamera tersembunyi sehingga diyakini bahwa
orang yang menolong itu benar-benar tulus.

Pada edisi itu, ditampilkan seorang nenek tua yang
kumal dan lusuh penampilannya, dan diskenariokan
meminta minyak tanah ala kadarnya untuk memasak. Sang
nenek pun berkeliling dari pintu ke pintu, lengkap
sambil menenteng kompor dan jerigen minyak yang juga
tak kalah kumalnya dengan penampilan si pemilik.
Bertemu orang pertama, sang nenek ditolak secara
halus. Berikutnya, di sebuah warung kelontong yang
cukup besar dan ramai, sang nenek kembali ditolak. Si
pemilik warung terlihat waspada dan 'menginterogasi'
si nenek, curiga si nenek adalah penipu. Berikutnya di
sebuah rumah sederhana, sang nenek kembali ditolak,
bahkan dengan kasar.

Sampai akhirnya sang nenek bertemu dengan seorang
lelaki setengah baya pengecer minyak tanah yang sedang
mengisi stok minyak di sebuah warung. Seorang lelaki
yang gigih. Kerasnya kehidupan tampak jelas tergurat
di wajahnya yang hitam berpeluh. Namun wajah itu
terlihat ramah dengan senyum. Seperti sebelumnya,
tanpa basa basi, sang nenek menghampiri dan meminta
minyak tanah kepada si penjual itu. Si penjual minyak
tanah tampak sabar dan tekun menyimak penjelasan si
nenek. Selesai sang nenek bercerita, tanpa berkata
apa-apa, si penjual minyak langsung mengambil jerigen
si nenek dan mengisinya. Tetap dengan wajah ramahnya.
Tak ada sedikitpun rona kecurigaan, apalagi
pertanyaan-pertanyaan 'interogasi'. Bahkan ketika sang
nenek 'ngelunjak' meminta kompor bututnya diperbaiki
pula, si penjual minyak tetap melayaninya dengan
ramah. Tak ada sedikitpun perubahan rona di wajahnya.
Benar-benar tulus, tanpa prasangka!

Jadilah si penjual minyak 'pemenang' di acara
tersebut. Ketika berikutnya sang pemenang diwawancara,
semakin terkuaklah 'mutiara' itu. Pengecer minyak
tanah itu ternyata cacat. Slamet, lelaki setengah baya
itu, terlahir dengan kedua kaki yang cacat dan sebelah
mata buta!. Setiap hari ia mencari nafkah berjualan
minyak berkeliling perumahan, keluar-masuk kampung,
menyusuri jalan raya, dengan sebuah sepeda tua yang
dikayuh dengan sebelah tangannya! Dan mengalirlah
kemudian kisah tentang sebuah ketegaran jiwa,
ketulusan menjalani garis hidup, kegagahan menghadapi
kerasnya ombak zaman, dari seorang Slamet. Dan
wawancara diakhiri dengan sebuah kalimat yang begitu
menggetarkan dari Slamet, "Saya percaya Tuhan itu Maha
Adil".

Seketika itu, runtuhlah semua kesombongan diri, hancur
berkeping diterjang gelombang kesederhanaan. Musnah
semua arogansi intelektualitas, tenggelam dalam
kebeningan perasaan. Lepas segala ambisi dan nafsu
duniawi, jatuh tersungkur di hadapan ketulusan seorang
hamba, hamba yang begitu tulus menjalani hidupnya.
Dengan semua ujian hidup yang begitu berat, dia tetap
tersenyum ramah kepada siapapun, menolong semua tanpa
membeda-bedakan walau hanya dalam batas kemampuannya,
tak ada iri dan dengki terhadap sekelilingnya yang
hidup jauh lebih beruntung, dan dengan ikhlas berkata:
Tuhan Maha Adil!.

Saya tergugu. Betapa buruknya kita di hadapan seorang
Slamet. Kita yang intelek dan terpandang, dipenuhi
dengan berbagai nikmat, namun masih merasa tidak
cukup. Seringkali protes ketika hanya mendapat sebuah
ujian. Menjadi bebal dan keras hati oleh berlimpahnya
materi dan kedudukan.

Hati yang tulus dan lembut masih ada bahkan banyak,
bertebaran memenuhi persada. Memeliharanya memang
sulit namun bukan sesuatu yang mustahil. Dunia yang
keras dan culas tidak cukup menjadi alasan bagi kita
untuk menumpulkan dan membekukannya. Karena kebaikan
dan kelembutan hati bukanlah suatu hal bodoh dan
sia-sia dalam dunia yang bergetah ini.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar